PERKEMBANGAN AGAMA BAGI PRANATAL DAN ANAK USIA 0 - 12 TAHUN
BAB I
PENDAHULUAN
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari
tentang jiwa yang dalam hal ini muncul dengan berbagai macam istilah, antara
lain ruh, nafs. Manusia sebagai objek psikologi memiliki kebutuhan baik jasmani
maupun rohani yang harus dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.
Dalam tingkat urgensitas kebutuhan inilah manusia tidak akan mampu terlepas
dari kodrat, yaitu kodrat bahwa manusia membutuhkan Tuhan atau dalam bahasa
sederhana manusia membutuhkan agama atau kepercayaan yang dijadikan pedoman
dalam hidup untuk mencapai kebahagiaan. Atas dasar kodrat inilah manusia akan memahami
esensi kehidupan yang sesungguhnya tentang siapa, dari mana sekaligus untuk apa
mereka diciptakan.
Agama pada dasarnya harus ditanamkan pada
manusia dengan tahapan sesuai dengan usia dan kebutuhan masing-masing agar
sesuai dengan kemampuan manusia untuk menerima kenyataan akan hal-hal yang
tidak selamanya rasional. Untuk itu, perlu disesuaikannya dosis ajaran agama
dengan pola fisik maupun psikis manusia yang dalam hal ini menunjukkan peran
penting psikologi yang menjadikannya berkaitan erat dengan agama.
Selain itu, orang tua juga memiliki kewajiban untuk mendidik tentang ajaran
agama terhadap anaknya. Anak adalah amanat yang harus dijaga dan ditanamkan kepadanya
nilai-nilai tauhid dan akhlak yang baik, dengan tujuan agar menjadi hamba Allah
yang taat dan patuh terhadap-Nya. Jika ajaran-ajaran agama ini tidak diperoleh
anak di masa hidupnya di dunia, maka kelak di kehidupan akherat, anaklah yang
akan menjadi penuntut pertama dan menjadi alasan serta penyebab terhalangnya
orang tua masuk surga
Hanya saja seringkali
pendidikan agama sering terlupakan padahal pendidikan agama adalah pondasi
paling penting dalam mendidik anak. Selain dari pendidikan agama contoh serta
tauladan yang baik dari orang tua serta lingkungan yang baik adalah hal yang
tidak boleh dilupakan untuk bisa mendidik dan mengarahkan anak-anak kita
mengenal akan Islam dan segala hal yang berkaitan dengan agama Islam yang kita
anut.
Pembinaan agama bukanlah suatu proses yang
dapat terjadi dengan cepat dan dipaksakan, tetapi berjalan secara berangsur-angsur, wajar, sehat
dan sesuai dengan pertumbuhan, kemampuan dan
keistemewaan umur yang sedang dilalui oleh anak. Pembinaan agama dalam implementasinya harus dilaksanakan secara terus menerus sejak seorang itu lahir sampai mati, terutama sampai usia pertumbuhannya sempurna. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa proses pembinaan agama melalui dua kemungkinan, yaitu: a. Melalui proses pendidikan
b. Melalui proses pembinaan kembali.
BAB II
PEMBAHASAN
PSIKOLOGI AGAMA
SEBELUM PRANATAL SAMAPAI USIA 12 TAHUN
Dalam hal pembahasan ini kami akan membagi menjadi dua pembahasan
yaitu yang pertama Psikologi agama
pranatal dan psikologi agama anak dari usia 0 – 12 tahun
A.
PSIKOLOGI AGAMA
PRANATAL
Untuk menghasilkan anak yang berkualitas baik dari perkembangan jasmani
maupun rohaninya maka perlu kiranya kita mempersiapkan sejak dari sebelum lahir
(pranatal) bahkan sejak kita mencari jodoh.
Dalam pembahasan ini maka kami membaginya menjadi dua, yaitu pertama
tentang mencari jodoh yang baik dan kedua mendidik sejak di dalam kandungan
1.
Mencari
jodoh yang baik
Salah
satu hal yang dibahas dalam sumber ajaran Islam adalah masalah perkawinan.
Ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Nur (24): 32 menjelaskan
anjuran untuk menikahi orang yang baik (sholeh) dan yang masih bujang. Di
samping itu, al-Qur’an juga menekankan akan adanya keluarga yang sakinah,
mawaddah dan penuh rahmat bagi setiap pasangan yang secara langsung mengarungi
bahtera rumah tangga dan untuk mendapatkan keturunan yang berkwalitas. Banyak
cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satunya adalah upaya
mencari calon isteri atau suami yang baik. Upaya tersebut bukan merupakan suatu
yang kunci, namun keberadaannya dalam rumah tangga akan dapat menentukan baik
tidaknya. Hal di atas dapat ditemukan jawabannya dalam hadis. Hadis telah
disepakati oleh ulama sebagai dalil hukum..
Sebagai
salah satu rukun perkawinan, adanya calon suami atau istri, maka kedudukan
keduanya menjadi penting. Perempuan dan laki-laki yang dapat dinikahi mempunyai
kriteria tertentu sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sebuah
hadisnya yang menyebutkan bahwa perempuan dinikahi karena empat hal. Walaupun
khitab hadis tersebut terhadap perempuan, namun esensi kriterianya juga dapat
diterapkan dalam teknik memilih jodoh yang baik.
Adapun
bunyi teks hadis adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya:
Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya,
kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai
agama, engkau akan beruntung.
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Abu Dawud Ibn Majah
Ahmad ibn Hanbal, dan al-Darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah ra.
Hadist di atas mengisyaratkan tentang cara memilih jodoh yang baik. Rasulullah
menjelaskan bahwa ada empat kriteria wanita yang dinikahi. Keempat kriteria
tersebut adalah harta, nasab, kecantikan dan agama. Namun, kesemuanya sabda
Nabi Muhammad saw. tersebut lebih mengutamakan kebaikan dari sisi agama.
2.
Pendidikan
Agama bagi Anak dalam kandungan
Hamil dan melahirkan adalah salah satu keistimewaan seorang
perempuan. Dalam proses ini, perempuan diberi kepercayaan oleh Allah untuk
terlibat lebih banyak dalam proses penciptaan manusia. Kita juga memiliki
tanggung jawab untuk menjadikan anak tersebut menjadi anak yang sholeh dan
sholehah. Semua perempuan juga tentu menginginkan anak
sholeh dan sholehah.
Mendidik
anak menjadi anak yang sholeh juga bisa dilakukan bahkan sebelum anak tersebut
lahir. Apa yang kita lakukan selama hamil akan berpengaruh secara langsung pada
perkembangan janin.
Oleh
karena itu ada beberapa hal yang sekiranya perlu dilakukan ketika hamil agar
melahirkan anak yang sholeh.
a.
Banyak
Bersyukur
Hal
pertama yang harus disyukuri pada saat
mengandung adalah bahwa seorang perempuan dipercaya oleh Allah untuk mengandung
seorang bayi. Kita bisa bersyukur dengan terus berdzikir kepada Allah dan
menjaga kandungan tersebut dengan sebaik-baiknya. Seperti janji Allah,
barangsiapa bersyukur maka Allah akan memberinya lebih banyak. Jika kita
bersyukur dengan kehamilan kita, Insya Allah kita akan dikaruniai anak yang
sholeh.
b.
Banyak
Berdoa
Kehamilan
adalah peristiwa besar yang terjadi pada perempuan, dan akan melalui persitiwa
yang lebih besar yaitu melahirkan. Maka, di masa-masa ini sebaiknya banyak
berdoa kepada Allah untuk diberi kelancaran dalam proses kehamilan ini, diberi
keturunan yang sempurna dan sehat fisiknya, juga agar kita sendiri diberi
kesehatan fisik oleh Allah.
Membacakan
Doa. Ada berbagai cara metoda doa serta doa-doa agar mendapatkan anak sholeh
yang diajarkan oleh Nabi dan juga orang-orang Sholeh dahulu yang bisa kita
pelajari dan dipraktekkan. Ada Doa Nabi Zakariya yaitu yang tercantum dalam
Al-Qur'an surat Ali Imran : 38 yang artinya :"Ya Tuhanku, berilah aku dari
sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar
Doa..(QS. Ali Imran (3);38 ). Kata anak yang baik mengandung makna jadikanlah
anak kami yang shaleh, berakhlaq mulia, dan beradab agar sempurna nikmat dunia
dan akheratnya. Ada juga doa Nabi Ibrahim yang tercantum dalam Al-Qur'an surat
As Shaafaat :100 dan An Nahl : 78
c.
Menjaga
Emosi
Janin
juga dapat merasakan emosi yang bergejolak dalam diri seseorang yang sedang
hamil. Jika dia tidak dapat mengontrol emosi, tidak dapat menjaga lisan dan
tidak dapat menjaga sikap, maka janin akan ketularan energy negatif dari emosi
yang kita rasakan. Banyak-banyaklah relaksasi dan melakukan hal yang menyenangkan
agar dapat menularkan energy positif pada bayi yang dikandung.
d.
Mendidik
Sejak di Dalam Kandungan
Mendidik
anak bisa dilakukan bahkan sejak masih di dalam kandungan. Inilah saat-saat
terdekat ibu dengan anak, dimana mereka ada dalam satu tubuh tanpa terpisahkan
sedikitpun. Nikmatilah saat-saat ini dengan menjalin kedekatan dan mendidik
dengan hal-hal baik.
Saat di
dalam kandungan, anak juga bisa mendengarkan apa yang diucapkan orang-orang di
luar perut ibunya. Ajaklah ia berbicara hal-hal yang baik dan perdengarkanlah
ayat-ayat Al-Qur’an untuk menanamkan sifat positif pada anak sejak dari dalam
kandungan. dengan memperdengarkan tilawati Al-Qur'an. Diharapkan dengan anak
bayi yang masih dalam kandungan dibiasakan oleh orang tuanya untuk mendengarkan
tilawah Qur'an karena banyak manfaat dari mendenagrkan Al-Qur'an ini. Kita
ketahui fungsi pertama yang paling banyak digunakan janin dalam kandungan
adalah fungsi pendengarannya maka kita optimalkan fungsi pendengaran janin
untuk terbiasa mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Selain itu
dengan kita membiasakan bayi dalam kandungan memperdengarkan Al-Qur'an maka
ketika sang anak memasuki masa kanak-kanak ia akan lebih mudah dalam menghafal
al-Qur'an.
e.
Memeriksakan
Kandungan
Memeriksakan
kandungan merupakan salah satu cara untuk bersyukur atas janin yang telah
dititipkan pada kita dan sebagai bukti bahwa kita menjaganya dengan baik.
Kebaikan seperti ini juga akan menularkan sifat-sifat positif bagi
anak kita kelak.
f.
Menjaga
Kehalalan Rizqi
Penting
bagi seorang ibu hamil untuk menjamin setiap apa yang masuk ke dalam tubuhnya
yang akan pula masuk ke dalam tubuh si bayi, seperti makanan yang bergizi dan
rizqi yang halal.
B.
PSIKOLOGI ANAK UMUR 0 – 12 TAHUN
1.
Pengertian Anak
Anak
adalah manusia
yang
masih kecil. Selain
itu anak-anak disebut pula sebagai stadium perkembangan dari masa bayi hingga masa dewasa muda. Anak
juga dianggap manusia dewasa dengan ukuran kecil.
Sehingga dari pengertian ini berarti anak juga bagian dari masyarakat yang hidup di tengah-tengah masyarakat luas.
Secara alamiah sejak bertemunya
ovum (sel
telur) dengan sperma terciptalah makhluk
baru
dalam kandungan
ibu,
dan
setelah
9
bulan lamanya dalam
kandungan manusiapun
terlahir
ke dunia dengan menyandang predikat awal sebagai anak dalam keluarga. Hal ini barangkali yang melatarbelakangi Abdul
Aziz
El-Quussy mengartikan
anak sebagai
keturunan manusia
yang
masih
kecil. Selanjutnya M.Sastrapraja
mendefinisikan bahwa anak adalah masa dalam periode perkembangan dari akhir bayi (3,0) hingga menjelang
masa pubertas.
Berpijak pada uraian di atas dapat disimpulkan,
bahwa pengertian anak
ialah
keturunan
manusia
yang
masih
kecil belum
mencapai usia pubertas
(baligh),
baik laki-laki
atau
perempuan
yang
hidup
di tengah- tengah keluarga.
Sementara menurut teori
psikologi pendidikan, bahwa anak terdapat
empat periodisasi dasar didaktis yang meliputi yaitu:
a. I 0;0 - 2;0 yakni masa asuhan,
b. II 2;0 - 12;0 yakni masa pendidikan jasmani dan latihan panca indra,
c. III 12;0 - 15;0 yakni periode pendidikan akal,
d.
15;0
- 20;0 yakni periode pembentukan watak dan pendidikan agama.7
Sedangkan Zakiyah Daradjat berpendapat bahwa masa kanak-kanak
(± 0 –12 tahun), masa remaja (± 13-21 tahun) dan masa dewasa di atas umur 21 tahun.
Dalam setiap perkembangannya, anak selalu terpengaruh oleh lingkungan tempat ia hidup. Hal ini sebagaimana dikatakan Kartono, bahwa setiap fenomena/ gejala
perkembangan
anak merupakan produk dari kerja sama
dengan
pengaruh timbal balik
di antara
potensialitas hereditas
dan lingkungan.
2. Agama Pada Masa Anak-anak
Sebagaimana dijelaskan diatas,
yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika
mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini
terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan
pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya,
yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan
merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan
niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini
dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik
pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan
reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan
tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata
tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat
kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang
saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan
ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi
meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan
butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga,
butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah
Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya
negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan.
Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang
terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin
tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika
orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan.
Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan
berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya
dan merasa aman.[10]
3. Tahap Perkembangan Beragama Pada Masa Anak-Anak
Sejalan dengan
kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga
bagian:
3.1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang
berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan
emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis
yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi
akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini,
perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan
cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai
dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan
pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada
individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
3. 2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini
pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta.
Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada
hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika. Pada tahap ini teradapat satu
hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai
permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran
dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3.3. The Individual Stage (Tingkat
Individu)
Sebagai makhluk ciptaan
Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia
dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta.
Dalam terminologi islam, dorongan ini dikenal dengan hidayat al-diniyyat, berupa
benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya
potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama. Namun
keberagamaan tersebut memerlukan bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang
secara benar.
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi
menjadi tiga golongan:
A. Konsep ketuhanan yang
konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
B. Konsep ketuhanan yang
lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
C. Konsep ketuhanan yang
bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka
dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini, Imam Bawani
membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
1. Fase dalam kandungan
Untuk memahami
perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan
dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama
bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya
perjanjian manusia atas tuhannya.
2. Fase bayi
Pada fase kedua ini
juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak.Namun isyarat
pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan
adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
3. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut
merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan.Pada fase ini anak
sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika
berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia
mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat
perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia
kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan
tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak
dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
4. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama
juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis.Hal ini berkaitan dengan
perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
4. Sifat Agama Pada Anak
Sifat agama pada
anak-anak tumbuh megikuti pola ideas konsep on outbrority. Ide keagamaan pada
anak hampir sepenuhnya autoritarius maksudnya, konsep keagamaan pada diri
mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Mereka telah melihat dan
mengikuti apa yang diajarkan oleh orang dewasa dan orang tua mereka tentang
sesuatu yang berhubungan dengan agama. Ketaatan pada ajaran agama merupakan
kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua
maupun guru mereka. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri
anak dapat dibagi atas:
4.1 Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka
terima tidak begitu mendalam, cukup sekadarnya saja, dan mereka merasa puas
dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Menurut peneilitian,
pikiran kritis baru muncul pada anak
berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral. Diusia ini pun anak yang
kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang kreatif. Namun demikian, sebelum
usia 12 tahun pada anak yang mempunyai ketajaman berpikir akan menimbang
pemikiran yang mereka terima dari orang lain.
4.2 Egosentris
Sifat egosentris ini
berdasarkan hasil penelitian piaget tentang bahasa pada anak berusia 3-7 tahun.
Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang
dewasa. Bagi anak, bahasa tidaklah menyangkut orang lain, tetapi lebih
merupakan “monolog” dan “monolog kolektif”, yaitu merupakan bahasa egosentris,
bukan sebagai sarana untuk mengomunikasikan gagasan dan informasi, lebih-lebih
merupakan pernyataan atau penegasan diri dihadapan orang lain.
4.3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai
ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan
orang lain, pertanyaan anak mengenai “bagaimana” dan “mengapa” biasanya
mencermikan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak
dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4.4. Verbalis dan ritualis
Kehidupan agama pada
anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal
secara verbal kalimat keagamaan, selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada
mereka.
4.5. Imitatif
Bahwa tindak keagamaan
yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan
salat misalnya, mereka laksanakan berdasarkan hasil melihat perbuatan
dilingkungan, dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru
ini merupakan modal yang positif. Menurut penelitian Gillesfi dan young bahwa
anak yang tidak dapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat
diharapkan menjadi pemilik keagamaan yang kekal.
4.6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum
merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Maka rasa kagum
pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada
keindahan lahiriyah saja. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui
cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Anak
Perkembangan agama pada
masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga,
disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang
bersifat religius, (sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur
agama maka sikap, tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan
sesuai dengan ajarana agama.
Setiap orang tua dan
semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai
kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu
dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal.
Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran,
maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Masa pendidikan di SD
merupakan kesempatan pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak
setelah orang tua, sekolah dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental
anak. Apabila pembinaan pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si
anak anak memasuki masa remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja
itu tidak akan mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di
sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada
anak. Apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan
berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan
sikap itu pada masa remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal
dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita
kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan
dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya
terhadap cara mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada
keyakinan bahwa begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka
juga cenderung memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang
lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam
memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak
dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan
yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui
jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh
ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun
pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini
antara lain:
1. Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak
anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah
keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga
kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan,
karena pendidikan agama islam membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar
anak-anak nantinya tetap patuh perintah Allah.
2. Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak
akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya
saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan
akhlak yang terpuji. Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat
berpengaruh besar dalam rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur
dan memiliki mental yang sehat.
3. Mengislamkannya atau
mengkhitankannya
Disebutkan dalam
Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda :
“Fitrah itu ada lima (Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis,
memotong kuku dan mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat
sebagai ciri fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama
yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada
waktu ia mencapai usia 80 tahun. Dengan demikian sebagai orang tua yang
mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak
menyia-nyiakan amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam
hidup dan kehidupan si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak
mulia terhadap kedua orang tuanya.
4. Upaya Melestarikan
Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya
melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan pendidikan
dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan.Dengan demikian mereka membutuhkan sistem
persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan anak.Perlunya
diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan
damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material
maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam
gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan produktif.
Adapun cara untuk
menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
1. Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan
pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang
pemberi petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak
mengalami atau mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada
anak tersebut yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa
tersebut dengan pengenalan agama lebih dekat.
2. Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama
Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan
melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik
dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan
yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran
agama islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya
menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu
pada perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
3. Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma
Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan
pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa
anak) dari umur 0 – 12 tahun.
BAB III
Simpulan Dan Penutup
Masa kanak- kanak
merupakan periode yang dinamis secara psikologis bagi perkembangan religius.
Anak – anak mempunyai kemampuan untuk meniru perilaku orang dewasa dan agama
beserta lembaga- lembaganya seyogyanya menyediakan model- model cara hidup dan
perilaku yang anak dapat menirunya. Tetapi tanggung jawab lembaga tidak
terbatas disitu. Pengalaman religius anak lebih penting dan bertahan lama
terjadi pada tingkat yang mendalam dan personal, dan mempunyai ciri-ciri anak
yaitu egosentris, antropomorfisme konkret, dan eksperimentasi. Seharusnya
lembaga tersebut menyediakan model dalam menyampaikan bahan informasi sesuai
dengan tingkat dan daya tangkap anak.
DAFTAR PUSTAKA
v Aliah B. Purwakanta
Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
v Aziz, Ahyadi. Psikologi Agama. Bandung : Mertiana
v Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. 1993: Bulan Bintang, cet 14
v Jalaludin. Psikologi
Agama. Jakarta : PT Grafindo Persada,
cet. 2009
v Ramayulis. Psikologi Agama. 2004 : Kalam Mulia
v Sobur, Alex. Psikologi Umum.
2009. Bandung : Pustaka Setia, cet.II
v Sururin. Ilmu Jiwa
Agama. 2004. Jakarta : PT Grafindo Jaya
v WE Maramis. Ilmu Kedoteran Jiwa. 1980 : Airlangga University
Press
v
Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi perkembangan), (Bandung: CV. Mandar Maju, 1995)
v M. Sastrapraja, Kumus Istilah Pendidikan dan Umum,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1978
v Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada), cet. V, 2001, hlm. 12.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus UmumBahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), cet. IV, hlm. 85.
Pendapat ini dikutip oleh Asma’ul Husna, “Kesulitan Hubungan Antara Orang Tua danAnak Pada Masa Remaja
“, Jurnal Pendidikan Ekonomi Islam Refleksi Pemikiran Keagamaan, Pendidikan dan Ekonomi Islam, 1,
2,
November, 2003, hlm. 16
M. Sastrapraja, Kumus Istilah
Pendidikan dan Umum,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1978), hlm.23.
Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi perkembangan), (Bandung: CV. Mandar Maju, 1995), hlm. 21
Ramayulis. Psikologi Agama. 2004 : Kalam Mulia hlm 34